Kamis, 30 April 2015

Kahanjak Hoang Ije Huma Betang

Kalteng
Peta Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah merupakan propinsi ke 17 di Indonesia, dengan gubernur pertama Tjilik Riwut.. Kal-Teng secara astronomis terletak pada 3º 50' Lintang Selatan  - 1º 10' Lintang Utara  110º 20' - 116º 0' Bujur Timur. Secara geografis berbatasan dengan propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan, Kalimantan Barat disebelah barat, Propinsi Kalimantan Selatan di sebelah Timur. Luas wilayah Kal-Teng secara keseluruhan adalah   157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).

Kalimantan Tengah memiliki budaya yang sangat beragam mulai dari agama, suku dan bahasa , walaupun demikian masyarakat Dayak penduduk asli Kalimantan Tengah tetap menjaga persatuan agar perbedaan yang ada tidak menjadi masalah bagi mereka. Sikap toleransi antar umat beragama mejadi salah satu contoh bagaimana warga Kal-Teng menjaga kerukunan diantaranya.






Huma Betang 
Huma Betang Kal-Teng
 Huma Betang adalah rumah adat masyarakat Kalimantan Tengah. Rumah yang dibangun dengan cara gotong royong  ini berukuran besar dan panjang mencapai 30 – 150 meter , lebarnya antara 10-30 meter , bertiang tinggi antara 3-4 meter dari tanah. Penghuni Huma Betang bisa mencapai seratus bahkan dua ratus jiwa yang merupakan satu keluarga besar dan dipimpin oleh seorang Bakas lewu atau Kepala Suku. Huma Betang dibuat tinggi dengan maksud untuk menghindari dari banjir, serangan musuh, dan juga binatang buas. Lantai dan dindingnya terbuat dari kayu , sedangkan dibagian atap terbuat dari sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun Huma Betang ini ialah kayu ulin selain ati rayap , kayu ulin mampu bertahan hingga ratusan tahun.
“Huma Betang” adalah dalam istilah sehari-hari “rumah besar” yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang terlihat di Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya (Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni se-Kalimantan Tengah.
Susana seperti itu sudah terlihat sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.

Mereka yang hidup di “rumah betang” ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah “Kaharingan” atau ada pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
Dalam “huma betang” tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan yang sangat tinggi.

Dengan filosofi “Huma Betang” ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut mengikuti filosofi “di mana langit di junjung di situ bumi di injak”.
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.

Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan lain, ikut bersiapkan berbagai bahan, berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.


Selain berfungsi sebagai rumah adat,  Huma Betang memiliki filosofi kehidupan yang sangat dalam dan mendasar bagi masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang diantaranya adalah :
 1. Hidup rukun dan damai walaupun terdapat banyak perbedaan.
Huma Betang dihuni oleh 1 keluarga besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, namun mereka selalu hidup rukun dan damai. Perbedaan yang ada tidak dijadikan alat pemecah diantara mereka.
Seiring dengan berkembangnya zaman , masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan rumah adatnya dan beralih kepada tempat tinggal yang lebih modern. Walaupun demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di Huma Betang. Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah  selalu menjaga keharmonisan itu dengan cara saling hormat menghormati dan juga sikap toleransi.

2.      Bergotong Royong.
Perbedaan yang ada tidak membuat penghuni Huma betang memikirkan kelompoknya sendiri. Mereka slalu bahu-membahu dalam melakukan sesuatu, misalnya apabila ada kerusakan di Huma Betang . mereka bersama-sama memperbaikinya , tidak memandang agama ataupun  suku. Tidak hanya di Huma Betang, Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah diharapkan juga bahu-membahu dalam membangun daerahnya tidak memandang suku bahkan agama.

3.      Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan kekeluargaan.
Senjata Tradisional Dayak
Mandau , senjata tradisional Dayak

Pada dasarnya setiap penghuni rumah menginginkan kedamaian dan kekeluargaan. Apabila ada perselisihan akan di cari pemecahnya dengan cara damai dan kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang , masyarakat Dayak cinta damai dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi.
Peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001 lalu adalah masa kelam provinsi ini , dalam kerusuhan ini terjadi antara masyarakat suku Dayak dan Masyarakat suku pendatang dari pulau Jawa yaitu suku Madura. Perselisihan yang ada sempat membuat provinsi ini tidak aman, perkelahian dimana-mana , termasuk peristiwa pembantaian. Perselisihan terjadi sangat alot, sampai saat perdamaianpun tiba. Demi kedamaian juga keamanan Kal-Teng mereka bersedia berdamai.

4.      Menghormati Leluhur.
ritual adat
Upacara Tiwah

Setelah masuknya agama-agama baru seperti Hindu, Kristen, dan Islam, banyak masyarakat Dayak berganti kepercayaan. Walaupun demikian masih ada sebagian dari mereka yang menganut agama nenek moyang yaitu Kaharingan. Untuk menghormati leluhur mereka , masyarakat suku Dayak melakukan upacara adat. Upacara adat tersebut terdiri dari ritual membongkar makam leluhur dan membersihkan tulang belulangnya untuk kemudian disimpan di dalam sanding yang telah dibuat bersama-sama.





Jadi kesimpulan dari filosofi Huma Betang masyarakat Suku Dayak adalah kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan toleran yang tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahka —sekaligus menghancurkan. Hendaknya semangat filosofi suku Dayak itulah yang patut kita warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama Indonesia.



 
sumber: http://andhinaimagination.blogspot.com/2014/05/huma-betang-falsafah-kearifan-suku-dayak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar