Kampung Pahandut merupakan salah satu kampung tertua di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir, seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau, Buntoi, Penda Alai dan Gohong. Konon dikisahkan bahwa karena keadaan tanah lahan bertani dan berkebun di Lewu Rawi (kemudian di kenal dengan nama lewu Bukit Rawi) tidak cocok, tersebutlah pasangan suami-isteri Bayuh dan Kambang memutuskan untuk mencari kawasan lain. Mereka kemudian milir (mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai Kahayan yang akhirnya menemukan tempat yang cocok, sehingga kehidupan mereka menjadi lebih baik. Khabar tentang tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian serta perbaikan kehidupan kedua suami istri tersebut terdengar oleh warga masyarakat lewu Rawi yang lain sehingga banyak sanak keluarga yang berasal dari kampung tersebut bahkan bahkan warga dari kampung/desa lain mengikuti jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu. Akhirnya tempat tersebut berubah menjadi kawasan berusaha metik hasil hutan (bahasa Dayak Ngaju : eka satiar, sekaligus membuka lahan untuk bertani, yang disebut eka malan) kemudian berkembang menjadi tempat berusaha bertani dan berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam bahasa Dayak Ngaju hal yang demikian dinamakan Eka Badukuh, para warga menyebutnya Dukuh ain Bayuh, singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh.
Kantor Gubernur Tempo Doeloe
Kantor Gubernur sekarang
Demikian Dukuh Bayuh (dukuh, Badukuh tidak sama dengan pengertian Dukuh dalam masyarakat Jawa, yang berarti lebih merupakan anak-desa atau desa cabang) semakin lama semakin berkembang maju, karena ternyata daerah itu dan sekitarnya memiliki sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya antara lain lokasi pemungutan hasil hutan seperti damar, getah jelutung (pantung), getah hangkang, katiau, dan rotan serta perairan sungai yang kaya dengan berbagai jenis ikan terutama dikawasan Dataran Aliran Sungai (DAS) Sebangau.
Dalam pada itu Dataran pematang (tanah tinggi ) terbentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan disebut tangking terkenal dengan nama Bukit Jekan (Jekan baca seperti jejer) dengan tanah berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi Barat sungai Kahayan, sedangkan di bagian Timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Pada kawasan hulu dan hilir dari Dukuh Bayuh tersebut juga terdapat puluhan danau kecil yang banyak ikannya. Semuanya merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan warga Dukuh Bayuh sekaligus menjadi daya tarik bagi pendatang dari daerah lain untuk ikut berusaha di dukuh itu. Maka berubahlah Dukuh Bayuh yang semula hanya tempat berusaha : bertani dan berkebun menjelma menjadi lewu (desa), dan Bayuh tetap sebagai Pambakal (Kepala Desa). Dukuh Bayuh yang berkembang maju tersebut telah menjadi Kampung (Desa) dengan kehidupan warga makmur dan sejahtera.
Kampung Pahandut merupakan salah satu kampung tertua di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir, seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau, Buntoi, Penda Alai dan Gohong. Konon dikisahkan bahwa karena keadaan tanah lahan bertani dan berkebun di Lewu Rawi (kemudian di kenal dengan nama lewu Bukit Rawi) tidak cocok, tersebutlah pasangan suami-isteri Bayuh dan Kambang memutuskan untuk mencari kawasan lain. Mereka kemudian milir (mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai Kahayan yang akhirnya menemukan tempat yang cocok, sehingga kehidupan mereka menjadi lebih baik. Khabar tentang tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian serta perbaikan kehidupan kedua suami istri tersebut terdengar oleh warga masyarakat lewu Rawi yang lain sehingga banyak sanak keluarga yang berasal dari kampung tersebut bahkan bahkan warga dari kampung/desa lain mengikuti jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu.
Akhirnya tempat tersebut berubah menjadi kawasan berusaha “metik” hasil hutan (bahasa Dayak Ngaju : eka satiar, sekaligus membuka lahan untuk bertani, yang disebut eka malan) kemudian berkembang menjadi tempat berusaha bertani dan berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam bahasa Dayak Ngaju hal yang demikian dinamakan Eka Badukuh, para warga menyebutnya Dukuh ain Bayuh, singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh.
Demikian Dukuh Bayuh (dukuh, Badukuh tidak sama dengan pengertian Dukuh dalam masyarakat Jawa, yang berarti lebih merupakan anak-desa atau desa cabang) semakin lama semakin berkembang maju, karena ternyata daerah itu dan sekitarnya memiliki sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya antara lain lokasi pemungutan hasil hutan seperti damar, getah jelutung (pantung), getah hangkang, katiau, dan rotan serta perairan sungai yang kaya dengan berbagai jenis ikan terutama dikawasan Dataran Aliran Sungai (DAS) Sebangau.
Dalam pada itu Dataran pematang (tanah tinggi ) terbentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan disebut tangking terkenal dengan nama Bukit Jekan (Jekan baca seperti jejer) dengan tanah berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi Barat sungai Kahayan, sedangkan di bagian Timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Pada kawasan hulu dan hilir dari Dukuh Bayuh tersebut juga terdapat puluhan danau kecil yang banyak ikannya. Semuanya merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan warga Dukuh Bayuh sekaligus menjadi daya tarik bagi pendatang dari daerah lain untuk ikut berusaha di dukuh itu. Maka berubahlah Dukuh Bayuh yang semula hanya tempat berusaha : bertani dan berkebun menjelma menjadi lewu (desa), dan Bayuh tetap sebagai Pambakal (Kepala Desa). Dukuh Bayuh yang berkembang maju tersebut telah menjadi Kampung (Desa) dengan kehidupan warga makmur dan sejahtera.
Sementara itu diceritakan bahwa terdapat seorang tokoh yang disegani oleh seluruh warga masyarakat Dukuh Bayuh karena mempunyai kelebihan yang sangat menonjol. Sang tokoh dianggap memiliki “kesaktian” dan “ilmu” serta oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai “orang pintar”
Ketika usianya sudah lanjut, Bapa Handut sering sakit-sakitan, dan ketika keadaan sakitnya sudah parah nampaknya sulit menghembuskan nafas terakhir. Warga Desa Bayuh merasa cemas dan prihatin atas penderitaan sang tokoh yang mereka hormati. Akhirnya kehendak Tuhan pun terjadi dan wafatlah Bapa Handut diiringi kesedihan dan isak tangis seluruh warga. Tokoh yang dihormati dan disegani telah tiada.
Guna mengenang dan menghormati sang tokoh yang sangat berpengaruh tersebut, semua warga masyarakat setuju Desa Bayuh diubah namanya menjadi Desa PAHANDUT (yang berasal dari kata Bapa Handut – panggilan akrab Sang Tokoh). Siapa nama asli Sang Tokoh itu, ternyata orang keturunan “asli” desa Pahandut tidak dapat memberi jawaban.
Dalam arsip Pemerintah Hindia Belanda nama Desa Pahandut tercatat dalam laporan Zacharias Hartman, seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang melakukan perjalanan menyusuri Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas pada Bulan Oktober 1823. Dalam laporan perjalanannya, Orang Belanda pertama yang langsung menginjakkan kaki pada DAS Kahayan dan Kapuas tersebut menyebutkan Desa Pahandut sebagai salah satu desa yang dikunjungi.
Dari notulen rapat Tumbang Anoi (tahun 1894) disebutkan bahwa di kampung Pahandut telah berdiri sebanyak 8 (delapan) buah rumah panjang (betang – rumah adat suku Dayak). Jika satu rumah betang berisi 5 (lima keluarga), maka paling sedikit Kampung Pahandut pada waktu itu telah dihuni oleh 40 keluarga. Ini berarti, kampung itu sudah cukup ramai.
Ngabe Anum Soekah
Ikhwal pasangan suami-istri Bayuh-Kambang, mereka mempunyai 2 orang anak laki-laki, yang sulung bernama Jaga sedang adiknya bernama Soekah. Bayuh sampai hari tuanya tetap dipercayakan sebagai Kepala Desa Pahandut dan di usia senjanya, Bayuh mengharapkan salah satu dari kedua putranya untuk menggantikannya sebagai kepala kampung. Jaga sebagai anak tertua (sulung) tidak dapat menolak. Sebenarnya Jaga mengharapkan adiknya, Soekah, yang menggantikan kedudukan/jabatan ayah mereka, namun karena Soekah menolak dengan alasan, dia masih mau merantau (mengembara alias berkelana), akhirnya Jaga diangkat menjadi Kepala Kampung Pahandut (Pambakal).
Sandung Ngebe Sukah
Sekembali Soekah dari pengembaraannya dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Pahandut, Soekah terpilih menjadi Pambakal/Kepala Kampung Pahandut menggantikan kakaknya, Jaga. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Desa Pahandut, atas jasa-jasanya dalam memimpin dan membina Desa Pahandut, sehingga seluruh warganya dapat menikmati kehidupan makmur dan sejahtera, Pemerintah Hindia Belanda memberi gelar NGABE ANUM kepada Soekah. Dengan demikian, Pambakal Desa Pahandut adalah Ngabe Anum Soekah. Namun sebutan yang lebih terkenal dalam masyarakatnya adalah sebutan akrab tetapi mengandung rasa hormat yaitu Ngabe Soekah. Berdasarkan informasi H. Basrin Inin, pada masa kepemimpinan Ngabe Soekah, Kampung Pahandut menjadi kampung yang paling ramai dikunjungi pendatang dan tercipta perdamaian, keamanan dan kenyamanan dari penduduknya yang berasal dari berbagai suku, ras dan agama.3 Sandung Ngabe Soekah terletak di pertigaan Jalan Darmosugondo dan Jalan Dr. Murjani (di depan
terminal sementara). Sebelumnya telah didirikan sandung oleh Bayuh pada tahun 1783, kemudian dipugar menjadi lebih besar oleh Ngabe Soekah pada tahun 1848. Pada waktu itu, lokasi sandung Ngabe Soekah ini dinamakan dengan Bukit Ngalangkang.
Di kemudian hari banyak peristiwa mengambil tempat di Bukit Ngalangkang ini misalnya pengumuman nama Kota Palangka Raya dan peresmian Kotapraja Palangka Raya sebagai daerah otonom.4 Pada masa kepemimpinan Ngabe Soekah, salah seorang cucunya yang bernama Herman Syawal Toendjan (HS. Toendjan) diangkat menjadi Damang. Sesudah Ngabe Soekah berusia lanjut, ditunjuk cucunya yang lain yang bernama Willem Dean sebagai kepala kampung selama 2 tahun, selanjutnya sekitar tahun 1940 diangkat Abd Inin (anak ketiga dari Ngabe Soekah) sebagai kepala kampung yang baru. Abd Inin (kepala kampung) dan HS. Toendjan (Damang), berkenalan dengan Tjilik Riwut dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Pertemuan kembali ketiga sahabat tersebut terjadi lagi sekitar tahun 1957, ketika Tjilik Riwut beserta 7 orang tokoh yang ditugaskan untuk mencari ibukota Propinsi Kalimantan Tengah berkunjung ke Kampung Pahandut.
Kampung pahandut dilihat dari atas (sekarang)
(sumber: citrabahana.blogspot.com dan onong35.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar