Sabtu, 02 Mei 2015

Tumpukan Batu di Tengah Hutan

Bukit Batu 
https://tyaskeju.files.wordpress.com/2010/05/dsc00077.jpgBerada di atas Bukit Batu yang terletak di tengah hutan Kalimantan
(Tengah), seperti berada di tempat
yang mustahil. Berada di atas Bukit
Batu dengan segera orang akan
membayangkan dari mana batu-batu
besar itu berasal, karena tidak mungkin batu-batu itu berasal dari
Sungai Katingan yang jaraknya cukup
jauh, yaitu sekitar 15 Km2. Kalau batu-
batu itu bekas dari puing-puing
kerajaan, di Kalimantan Tengah tidak
ada kerajaan yang berdiri karena merupakan daerah baru yang di buka
dari hutan belantara. Berada di Bukit
Batu seperti berada di satu tempat
yang muskil terjadi. Karena Bukit Batu
sulit dijelaskan melalui fenomena alam
dan realitas historis, setidaknya seperti Borobudur misalnya, sehingga Bukit
Batu menghadirkan sistem keyakinan
tersendiri bagi masyarakat setempat
dan mempunyai legenda untuk
meneguhkan keberadaan Bukit Batu,
yang sekaligus, legenda itu, berfungsi sebagai legitimasi.
Nama Bukit Batu bukanlah nama
asing bagi orang Kalimantan,
setidaknya untuk Kalimantan Tengah.
Memang, Bukit Batu terletak di desa
Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Kisah yang
bergulir pada masa silam, seorang
yang bernama Burut Ules tinggal di
desa Tumbang Linting. Burut Ules
dikenal sebagai seorang yang
mempunyai kemampuan spritual tingkat tinggi, yang dalam bahasa
setempat disebut sebagai bakaji.
Seperti halnya di Jawa ada kisah Djaka
Tarub yang mengambil selendang
salah satu bidadari yang sedang
mandi di telaga kemudian mengawini bidadari tersebut. Kisah Burut Ules
menyerupai hal itu. Dia, Burut Ules,
mengambil besaluka yang di Jawa
dikenal dengan nama jarik. Bukan
hanya sekali dia melihat tujuh dara
yang turun dari langit dan mandi di telaga yang berada di tengah hutan
belantara yang sedang ia persiapkan
sebagai tempat tinggal. Ketika dengan
sengaja Burut Ules menunggu sambil
sembunyi disemak-semak, tujuh dara
yang dia tunggu turun dari langit menuju telaga setelah melepaskan
seluruh pakaian semuanya mandi di
telaga. Burut Ules tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu, yang
mungkin tidak akan datang lagi, pada
saat para dara itu menginjak tanah untuk mengenakan pakaian, Burut
Ules muncul dari semak-semak
langsung memeluk buah hatinya,
yang tak lain bungsu dari para
bidadari.
Singkat kisah, Burut Ules lalu mengawini dara bungsu itu dan untuk
menjaga agar tidak kembali ke
tempatnya, Burut Ules
menyembunyikan pakaian dara yang
dipersunting itu. Sampai pada
klimaksnya, setelah keduanya bahagia mempunyai seorang anak,
Burut Ules tidak bisa menerima
kehadiran seorang anak muda,
mamut menteng, yang dikenalkan
istrinya sebagai saudaranya, lantaran
terlalu sering pergi berduaan mandi di telaga dengan meninggalkan
anaknya yang masih bayi, akhirnya
Burut Ules membunuh pemuda itu.
Mengerti akan hal itu, istri Burut Ules
marah dan pergi meninggalkan
suaminya dengan membawa serta anak laki-lakinya. Sebelum pergi
istrinya sempat menyampaikan pesan,
bahwa kelak kalau dewasa anak laki-
lakinya akan kembali ke alam
ayahnya karena dia tidak bisa tinggal
di alam ibunya. Putri ketiga Tjilik Riwut, Theresia Nila
Ambun Triwati Suseno dalam
bukunya yang berjudul "Manaser
Panatau Tatu Hiang, Menyelami
Kekayaan Leluhur" menutup kisah
Burut Ules dengan menulis: "Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang
Kasongan, terdengar suara gemuruh
halilintar memekakkan telinga. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyhXd6KBGurdqFfLNOQMdy8ffghXAmIZysjCxQ_DODWvsxycSVgMjJh_RE6n6AUxiCWUBPrqmIVZa4QK-nHkFQjsIWETCX_iEjNmfZEKTt5PCWU95RiPIlDv1tSp-ekE3sgnT1rq2RkEA/s720/IMG_1402.JPGPetir
kilat sambar menyambar. Saat itu
sebuah batu besar diturnkan dari
langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama istri
pertamanya, saat itu telah dewasa.
Sesuai janji, apabila telah dewasa ia
akan kembali ke alam bapaknya
bertempat tinggal, maka janji itu telah
ditepati. Batu yang diturunkan dari langit kemudian terkenal dengan
nama Bukit Batu dan diyakini sebagai
tempat kediamannya, walau tak
terlihat dengan mata jasmani, namun
ia ada di sana sebagai Raja dan
penguasa daerah tersebut…" Sebagaimana legenda yang tidak
menunjuk waktu peristiwa. Legenda
Burut Ules dan Bukit Batu juga tidak
bisa dilacak waktu kejadiannya, tetapi
diyakini sebagai sungguh terjadi.
Kisah cerita itu mengidentifikasi "Bukit Batu" sebagai makhluk yang
mempunyai jenis kelamin laki-laki.
Dari Bukit Batu inilah kisah Tjilik Riwut
mengawali jejak. Riwut Dahiang, ayah
Tjilik Riwut, menginginkan
mempunyai seorang anak laki-laki sebab setiap anaknya lahir laki-laki
selalu meninggal. Di Bukit Batu Riwut
Dahiang bertapa, dalam bahasa
setempat disebut sebagai balampah
untuk memohon kepada Hatalla
(Tuhan) supaya mendapatkan anak laki-laki. 

 Wangsit yang diperoleh
dalam pertapaan itu ialah, bahwa
anak laki-laki Riwut Dahiang yang
akan dilahirkan kelak akan
mengemban tugas khusus untuk
masyarakat sukunya. Tjilik Riwut dalam masa
pertumbuhannya hampir tidak pernah
melupakan Bukit Batu. Dalam usia
yang masih belia, Tjilik Riwut biasa
pergi meninggalkan teman
bermainnya untuk menuju Bukit Batu, yang jaraknya dari tempat tinggalnya
sekitar 15 Km. Tjilik Riwut berjalan
menuju Bukit Batu untuk melakukan
apa yang dulu pernah dilakukan oleh
ayahnya, Riwut Dahiang.
Di Bukit Batu, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, Tjilik Riwut
melakukan apa yang disebut sebagai
balampah (semedi, bertapa). Di tempat
yang dianggap keramat itu Tjilik Riwut
bersemedi untuk merenungkan
kehidupannya. Dalam bertapa itu, lagi- lagi mendapat wangsit seperti yang
pernah dialami oleh ayahnya. Wangsit
yang pertama diperoleh ialah, supaya
Tjilik Riwut menyeberang laut untuk
menuju Pulau Jawa. Hampir sulit
wangsit itu dilaksanakan, karena pada jaman itu, transportasi di
Kalimantan masih sangat lemah untuk
menuju Jawa, sehingga bisa
dikatakan mustahil, apalagi harus
ditempuh dari desa Kasongan di mana
Tjilik Riwut lahir dan tinggal. Untuk pergi ke Banjarmasin yang terletak di
pulau yang sama dengan Kalimantan,
pada waktu itu bukan main susahnya.
Bukit Batu sekarang dikenal dengan
nama “Tempat Pertapaan Tjilik Riwut”.
Letak Bukit Batu dari kota Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah
sekitar 40 Km. Namun dari Kabupaten
Katingan hanya sekitar 10 Km. Untuk
menunu ke Bukit Batu dari Palangka
Raya bisa menggunakan transportasi
umum atau mobil pribadi. Hanya karena transportasi umum tidak
terlalu sering, sehingga terasa lama
dalam menunggu. Sebagai salah satu
obyek wisata Kalimantan Tengah
umumnya, dan di Kabupaten Katingan
khususnya, belum dikelola secara memadai. Terlepas sebagai obyek
wisata, Bukit Batu memilik “jejak
sejarah” terhadap terbentuknya
Kalimantan Tengah. Bukit Batu Berada di atas Bukit Batu yang terletak di tengah hutan Kalimantan
(Tengah), seperti berada di tempat
yang mustahil. Berada di atas Bukit
Batu dengan segera orang akan
membayangkan dari mana batu-batu
besar itu berasal, karena tidak mungkin batu-batu itu berasal dari
Sungai Katingan yang jaraknya cukup
jauh, yaitu sekitar 15 Km2. Kalau batu-
batu itu bekas dari puing-puing
kerajaan, di Kalimantan Tengah tidak
ada kerajaan yang berdiri karena merupakan daerah baru yang di buka
dari hutan belantara. Berada di Bukit
Batu seperti berada di satu tempat
yang muskil terjadi. Karena Bukit Batu
sulit dijelaskan melalui fenomena alam
dan realitas historis, setidaknya seperti Borobudur misalnya, sehingga Bukit
Batu menghadirkan sistem keyakinan
tersendiri bagi masyarakat setempat
dan mempunyai legenda untuk
meneguhkan keberadaan Bukit Batu,
yang sekaligus, legenda itu, berfungsi sebagai legitimasi.
 
Nama Bukit Batu bukanlah nama
asing bagi orang Kalimantan,
setidaknya untuk Kalimantan Tengah.
Memang, Bukit Batu terletak di desa
Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Kisah yang
bergulir pada masa silam, seorang
yang bernama Burut Ules tinggal di
desa Tumbang Linting. Burut Ules
dikenal sebagai seorang yang
mempunyai kemampuan spritual tingkat tinggi, yang dalam bahasa
setempat disebut sebagai bakaji.
Seperti halnya di Jawa ada kisah Djaka
Tarub yang mengambil selendang
salah satu bidadari yang sedang
mandi di telaga kemudian mengawini bidadari tersebut. Kisah Burut Ules
menyerupai hal itu. Dia, Burut Ules,
mengambil besaluka yang di Jawa
dikenal dengan nama jarik. Bukan
hanya sekali dia melihat tujuh dara
yang turun dari langit dan mandi di telaga yang berada di tengah hutan
belantara yang sedang ia persiapkan
sebagai tempat tinggal. Ketika dengan
sengaja Burut Ules menunggu sambil
sembunyi disemak-semak, tujuh dara
yang dia tunggu turun dari langit menuju telaga setelah melepaskan
seluruh pakaian semuanya mandi di
telaga. Burut Ules tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu, yang
mungkin tidak akan datang lagi, pada
saat para dara itu menginjak tanah untuk mengenakan pakaian, Burut
Ules muncul dari semak-semak
langsung memeluk buah hatinya,
yang tak lain bungsu dari para
bidadari.


Singkat kisah, Burut Ules lalu mengawini dara bungsu itu dan untuk
menjaga agar tidak kembali ke
tempatnya, Burut Ules
menyembunyikan pakaian dara yang
dipersunting itu. Sampai pada
klimaksnya, setelah keduanya bahagia mempunyai seorang anak,
Burut Ules tidak bisa menerima
kehadiran seorang anak muda,
mamut menteng, yang dikenalkan
istrinya sebagai saudaranya, lantaran
terlalu sering pergi berduaan mandi di telaga dengan meninggalkan
anaknya yang masih bayi, akhirnya
Burut Ules membunuh pemuda itu.
Mengerti akan hal itu, istri Burut Ules
marah dan pergi meninggalkan
suaminya dengan membawa serta anak laki-lakinya. Sebelum pergi
istrinya sempat menyampaikan pesan,
bahwa kelak kalau dewasa anak laki-
lakinya akan kembali ke alam
ayahnya karena dia tidak bisa tinggal
di alam ibunya.

 
Putri ketiga Tjilik Riwut, Theresia Nila
Ambun Triwati Suseno dalam
bukunya yang berjudul "Manaser
Panatau Tatu Hiang, Menyelami
Kekayaan Leluhur" menutup kisah
Burut Ules dengan menulis: "Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang
Kasongan, terdengar suara gemuruh
halilintar memekakkan telinga. Petir
kilat sambar menyambar. Saat itu
sebuah batu besar diturnkan dari
langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama istri
pertamanya, saat itu telah dewasa.
Sesuai janji, apabila telah dewasa ia
akan kembali ke alam bapaknya
bertempat tinggal, maka janji itu telah
ditepati. Batu yang diturunkan dari langit kemudian terkenal dengan
nama Bukit Batu dan diyakini sebagai
tempat kediamannya, walau tak
terlihat dengan mata jasmani, namun
ia ada di sana sebagai Raja dan
penguasa daerah tersebut…" Sebagaimana legenda yang tidak
menunjuk waktu peristiwa. Legenda
Burut Ules dan Bukit Batu juga tidak
bisa dilacak waktu kejadiannya, tetapi
diyakini sebagai sungguh terjadi.


Kisah cerita itu mengidentifikasi "Bukit Batu" sebagai makhluk yang
mempunyai jenis kelamin laki-laki.
Dari Bukit Batu inilah kisah Tjilik Riwut
mengawali jejak. Riwut Dahiang, ayah
Tjilik Riwut, menginginkan
mempunyai seorang anak laki-laki sebab setiap anaknya lahir laki-laki
selalu meninggal. Di Bukit Batu Riwut
Dahiang bertapa, dalam bahasa
setempat disebut sebagai balampah
untuk memohon kepada Hatalla
(Tuhan) supaya mendapatkan anak laki-laki. Wangsit yang diperoleh
dalam pertapaan itu ialah, bahwa
anak laki-laki Riwut Dahiang yang
akan dilahirkan kelak akan
mengemban tugas khusus untuk
masyarakat sukunya. Tjilik Riwut dalam masa
pertumbuhannya hampir tidak pernah
melupakan Bukit Batu. Dalam usia
yang masih belia, Tjilik Riwut biasa
pergi meninggalkan teman
bermainnya untuk menuju Bukit Batu, yang jaraknya dari tempat tinggalnya
sekitar 15 Km. Tjilik Riwut berjalan
menuju Bukit Batu untuk melakukan
apa yang dulu pernah dilakukan oleh
ayahnya, Riwut Dahiang.

 https://tyaskeju.files.wordpress.com/2010/05/dsc00029.jpg

Di Bukit Batu, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, Tjilik Riwut
melakukan apa yang disebut sebagai
balampah (semedi, bertapa). Di tempat
yang dianggap keramat itu Tjilik Riwut
bersemedi untuk merenungkan
kehidupannya. Dalam bertapa itu, lagi- lagi mendapat wangsit seperti yang
pernah dialami oleh ayahnya. Wangsit
yang pertama diperoleh ialah, supaya
Tjilik Riwut menyeberang laut untuk
menuju Pulau Jawa. Hampir sulit
wangsit itu dilaksanakan, karena pada jaman itu, transportasi di
Kalimantan masih sangat lemah untuk
menuju Jawa, sehingga bisa
dikatakan mustahil, apalagi harus
ditempuh dari desa Kasongan di mana
Tjilik Riwut lahir dan tinggal. Untuk pergi ke Banjarmasin yang terletak di
pulau yang sama dengan Kalimantan,
pada waktu itu bukan main susahnya.
Bukit Batu sekarang dikenal dengan
nama “Tempat Pertapaan Tjilik Riwut”.
Letak Bukit Batu dari kota Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah
sekitar 40 Km. Namun dari Kabupaten
Katingan hanya sekitar 10 Km.

Untuk
menunu ke Bukit Batu dari Palangka
Raya bisa menggunakan transportasi
umum atau mobil pribadi. Hanya karena transportasi umum tidak
terlalu sering, sehingga terasa lama
dalam menunggu. Sebagai salah satu
obyek wisata Kalimantan Tengah
umumnya, dan di Kabupaten Katingan
khususnya, belum dikelola secara memadai. Terlepas sebagai obyek
wisata, Bukit Batu memilik “jejak
sejarah” terhadap terbentuknya
Kalimantan Tengah.Bukit Batu Berada di atas Bukit Batu yang terletak di tengah hutan Kalimantan
(Tengah), seperti berada di tempat
yang mustahil. Berada di atas Bukit
Batu dengan segera orang akan
membayangkan dari mana batu-batu
besar itu berasal, karena tidak mungkin batu-batu itu berasal dari
Sungai Katingan yang jaraknya cukup
jauh, yaitu sekitar 15 Km2. 

Kalau batu-
batu itu bekas dari puing-puing
kerajaan, di Kalimantan Tengah tidak
ada kerajaan yang berdiri karena merupakan daerah baru yang di buka
dari hutan belantara. Berada di Bukit
Batu seperti berada di satu tempat
yang muskil terjadi. Karena Bukit Batu
sulit dijelaskan melalui fenomena alam
dan realitas historis, setidaknya seperti Borobudur misalnya, sehingga Bukit
Batu menghadirkan sistem keyakinan
tersendiri bagi masyarakat setempat
dan mempunyai legenda untuk
meneguhkan keberadaan Bukit Batu,
yang sekaligus, legenda itu, berfungsi sebagai legitimasi.
Nama Bukit Batu bukanlah nama
asing bagi orang Kalimantan,
setidaknya untuk Kalimantan Tengah.
Memang, Bukit Batu terletak di desa
Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Kisah yang
bergulir pada masa silam, seorang
yang bernama Burut Ules tinggal di
desa Tumbang Linting. Burut Ules
dikenal sebagai seorang yang
mempunyai kemampuan spritual tingkat tinggi, yang dalam bahasa
setempat disebut sebagai bakaji.
Seperti halnya di Jawa ada kisah Djaka
Tarub yang mengambil selendang
salah satu bidadari yang sedang
mandi di telaga kemudian mengawini bidadari tersebut. Kisah Burut Ules
menyerupai hal itu. Dia, Burut Ules,
mengambil besaluka yang di Jawa
dikenal dengan nama jarik. Bukan
hanya sekali dia melihat tujuh dara
yang turun dari langit dan mandi di telaga yang berada di tengah hutan
belantara yang sedang ia persiapkan
sebagai tempat tinggal. Ketika dengan
sengaja Burut Ules menunggu sambil
sembunyi disemak-semak, tujuh dara
yang dia tunggu turun dari langit menuju telaga setelah melepaskan
seluruh pakaian semuanya mandi di
telaga. Burut Ules tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu, yang
mungkin tidak akan datang lagi, pada
saat para dara itu menginjak tanah untuk mengenakan pakaian, Burut
Ules muncul dari semak-semak
langsung memeluk buah hatinya,
yang tak lain bungsu dari para
bidadari.
Singkat kisah, Burut Ules lalu mengawini dara bungsu itu dan untuk
menjaga agar tidak kembali ke
tempatnya, Burut Ules
menyembunyikan pakaian dara yang
dipersunting itu. Sampai pada
klimaksnya, setelah keduanya bahagia mempunyai seorang anak,
Burut Ules tidak bisa menerima
kehadiran seorang anak muda,
mamut menteng, yang dikenalkan
istrinya sebagai saudaranya, lantaran
terlalu sering pergi berduaan mandi di telaga dengan meninggalkan
anaknya yang masih bayi, akhirnya
Burut Ules membunuh pemuda itu.
Mengerti akan hal itu, istri Burut Ules
marah dan pergi meninggalkan
suaminya dengan membawa serta anak laki-lakinya.

 https://tyaskeju.files.wordpress.com/2010/05/dsc00058.jpg
 Sebelum pergi
istrinya sempat menyampaikan pesan,
bahwa kelak kalau dewasa anak laki-
lakinya akan kembali ke alam
ayahnya karena dia tidak bisa tinggal
di alam ibunya. Putri ketiga Tjilik Riwut, Theresia Nila
Ambun Triwati Suseno dalam
bukunya yang berjudul "Manaser
Panatau Tatu Hiang, Menyelami
Kekayaan Leluhur" menutup kisah
Burut Ules dengan menulis: "Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang
Kasongan, terdengar suara gemuruh
halilintar memekakkan telinga. Petir
kilat sambar menyambar. Saat itu
sebuah batu besar diturnkan dari
langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama istri
pertamanya, saat itu telah dewasa.
Sesuai janji, apabila telah dewasa ia
akan kembali ke alam bapaknya
bertempat tinggal, maka janji itu telah
ditepati. Batu yang diturunkan dari langit kemudian terkenal dengan
nama Bukit Batu dan diyakini sebagai
tempat kediamannya, walau tak
terlihat dengan mata jasmani, namun
ia ada di sana sebagai Raja dan
penguasa daerah tersebut…" Sebagaimana legenda yang tidak
menunjuk waktu peristiwa. Legenda
Burut Ules dan Bukit Batu juga tidak
bisa dilacak waktu kejadiannya, tetapi
diyakini sebagai sungguh terjadi.
Kisah cerita itu mengidentifikasi "Bukit Batu" sebagai makhluk yang
mempunyai jenis kelamin laki-laki.
Dari Bukit Batu inilah kisah Tjilik Riwut
mengawali jejak. Riwut Dahiang, ayah
Tjilik Riwut, menginginkan
mempunyai seorang anak laki-laki sebab setiap anaknya lahir laki-laki
selalu meninggal. Di Bukit Batu Riwut
Dahiang bertapa, dalam bahasa
setempat disebut sebagai balampah
untuk memohon kepada Hatalla
(Tuhan) supaya mendapatkan anak laki-laki. Wangsit yang diperoleh
dalam pertapaan itu ialah, bahwa
anak laki-laki Riwut Dahiang yang
akan dilahirkan kelak akan
mengemban tugas khusus untuk
masyarakat sukunya. Tjilik Riwut dalam masa
pertumbuhannya hampir tidak pernah
melupakan Bukit Batu. Dalam usia
yang masih belia, Tjilik Riwut biasa
pergi meninggalkan teman
bermainnya untuk menuju Bukit Batu, yang jaraknya dari tempat tinggalnya
sekitar 15 Km. Tjilik Riwut berjalan
menuju Bukit Batu untuk melakukan
apa yang dulu pernah dilakukan oleh
ayahnya, Riwut Dahiang.
Di Bukit Batu, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, Tjilik Riwut
melakukan apa yang disebut sebagai
balampah (semedi, bertapa). Di tempat
yang dianggap keramat itu Tjilik Riwut
bersemedi untuk merenungkan
kehidupannya. Dalam bertapa itu, lagi- lagi mendapat wangsit seperti yang
pernah dialami oleh ayahnya. Wangsit
yang pertama diperoleh ialah, supaya
Tjilik Riwut menyeberang laut untuk
menuju Pulau Jawa. Hampir sulit
wangsit itu dilaksanakan, karena pada jaman itu, transportasi di
Kalimantan masih sangat lemah untuk
menuju Jawa, sehingga bisa
dikatakan mustahil, apalagi harus
ditempuh dari desa Kasongan di mana
Tjilik Riwut lahir dan tinggal. Untuk pergi ke Banjarmasin yang terletak di
pulau yang sama dengan Kalimantan,
pada waktu itu bukan main susahnya.
Bukit Batu sekarang dikenal dengan
nama “Tempat Pertapaan Tjilik Riwut”.
Letak Bukit Batu dari kota Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah
sekitar 40 Km. Namun dari Kabupaten
Katingan hanya sekitar 10 Km. Untuk
menunu ke Bukit Batu dari Palangka
Raya bisa menggunakan transportasi
umum atau mobil pribadi. Hanya karena transportasi umum tidak
terlalu sering, sehingga terasa lama
dalam menunggu. Sebagai salah satu
obyek wisata Kalimantan Tengah
umumnya, dan di Kabupaten Katingan
khususnya, belum dikelola secara memadai. Terlepas sebagai obyek
wisata, Bukit Batu memilik “jejak
sejarah” terhadap terbentuknya
Kalimantan Tengah.


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar